22 October 2007

Budaya Ketupat

Oleh : Zaim Uchrowi

Boleh saja kita menganggap budaya ketupat tak lebih dari sebuah tradisi. Tradisi yang akan selalu hadir di hari-hari sekitar Lebaran seperti sekarang, dan akan selalu menyenangkan untuk dihidangkan. Tapi, lebih dari itu, ia bukanlah apa-apa. Ia hanya sekadar makanan yang dapat kita pesan lengkap dengan opor ayam serta sambal goreng atinya. Nikmati saja, tak usah dicari-cari maknanya.

Mencari makna ketupat barangkali memang mengada-ada. Apalagi bagi orang-orang kota yang hanya tahu ketupat ketika sudah tersaji di atas meja. Namun, ketupat punya arti sendiri di tahun-tahun lampau, khususnya di lingkungan pedesaan. Yakni, bagi kita yang bukan sekadar memakannya di meja, melainkan juga mengikuti seluruh proses dalam budaya ketupat tersebut. Sekadar mengingatkan, proses berarti "rangkaian kegiatan berkesinambungan untuk mencapai tujuan tertentu".

Proses itu mulai terasa sejak beberapa hari sebelum Hari Raya. Para ayah akan ke kebun untuk memanjat pohon kelapa. Dipotongnya janur atau daun kelapa yang masih muda, untuk dibawa pulang. Di dapur, para perempuan dewasa dengan cekatan merajutnya menjadi sebuah bentuk semacam kotak jajaran genjang atau menyerupai layang-layang tiga dimensi yang di dalamnya berongga.

Anak-anak selalu antusias untuk mencoba membuat ketupat, meskipun harus bolak-balik membongkar dan membongkarnya karena anyamannya salah. Juga akan selalu gembira bila diberi kesempatan untuk memasukkan beras ke dalam rongga tersebut sambil terus bertanya-tanya pada diri sendiri apakah jumlah berasnya sudah cukup, kurang atau berlebih, agar dapat menghasilkan ketupat dengan kekenyalan yang tepat. Proses terus berlanjut dengan memasak hingga menghidangkannya. Sungguh merupakan kegembiraan luar biasa saat bisa menikmatinya secara bersama-sama, setelah saling bermaafan satu sama lain.

Ketika kehidupan masyarakat secara umum masih sederhana dulu, ketupat benar-benar menjadi ekspresi kegembiraan. Tuntasnya menunaikan ibadah puasa Ramadhan, juga saat berkumpulnya para manusia terpilih di seluruh dunia di Padang Arafah menjelang Idul Adha, benar-benar dipandang sebagai hari istimewa yang pantas dirayakan. Untuk merayakannya, makanannya pun perlu berbeda dari hari-hari biasa, maka ketupat pun menjadi pilihannya. Entah siapa yang sedemikian kreatif membuat reka bentuk istimewa itu yang kemudian diadopsi seluruh masyarakat nusantara ini.

Ada ungkapan syukur yang sangat kuat yang diekspresikan melalui budaya ketupat itu. Syukur bahwa begitu besar karunia-Nya pada kita, manusia yang dhaif ini, yang tak akan terbalaskan dengan seberapa pun pengabdian kita. Ada keterlibatan kita secara langsung dari setiap iris ketupat sebelum kita dapat meikmatinya. Ada keterpautan langsung dengan alam dalam pembuatan ketupat yang akan mempertebal gelombang hubungan kita dengan semesta ini. Ada pula keberkahan yang harapkan dengan berbagai keriaan sederhana bersama sanak keluarga. Mencari keberkahan dalam makanan, tutur seorang ustadz dalam sebuah ceramah Ramadhan, dalam agama ditempatkan lebih di depan dibanding amal saleh maupun ritual ibadah.

Kini kebun-kebun telah menjadi kampung. Pohon-pohon kelapa semakin sedikit di sekitar kita. Budaya moneter dan materi semakin menguasai kehidupan sehari-hari. Membuat sendiri ketupat? Buat apa, kalau kita bisa membeli. Tinggal orang-orang kecil yang perlu untuk menjualnya demi sedikit uang penambal kebutuhan hariannya yang masih mau membuat ketupat. Pada keadaan seperti ini budaya ketupat tinggal sekadar menjadi tradisi tanpa arti tersendiri. Ketupat menjadi tak lebih dari sekadar makanan pembuat kenyang. Bukan untuk secara khusus dinikmati, apalagi untuk diyukuri.

Idul Fitri sekarang, insya Allah, menjadi titik untuk kembali pada kehidupan yang penuh syukur serta keberkahan setelah bertahun-tahun terakhir kita menjadi sosok yang mekanis dan membanggakan materi. Kita dapat memulai kehidupan penuh syukur dan berkah itu kembali dengan menikmati setiap kunyahan yang Lebaran ini kita santap.