27 November 2007

Pak Haji VS Pak Shalat

Jumat, 23 Nopember 2007

Pak Haji!

Oleh : Zaim Uchrowi

"Mengapa orang berhaji disebut Pak Haji, dan orang shalat tak disebut Pak Shalat?" Pesan ringkas itu masuk ke telepon genggam saya. Pak Akhyar, seorang guru di Tangerang, pengirimnya. Tak ada yang dapat saya jawab selain tersenyum. Itulah kita. Pertanyaan 'nakal'-nya memgingatkan siapa sosok kita sebenarnya.

Di masa-masa lampau, seorang haji memang selalu pribadi istimewa. Seorang haji adalah seorang yang nyaris paripurna sebagai manusia. Mereka tentu pribadi-pribadi yang telah melampaui banyak hal dalam hidup. Baik lahir maupun batin. Baik yang terkait kebendaan maupun yang bukan kebendaan. Seorang haji, secara umum, memiliki jejak langkah melebihi jejak langkah orang kebanyakan.

Dalam ekonomi, misalnya. Kaji Ngusman, ayah kakek buyut saya, punya sawah luas dan sukses berdagang sebelum berhaji. Hampir semua haji lain di tanah nusantara ini seperti itu. Petani sukses, atau pedagang sukses. Mereka umumnya bukan orang gajian, dan jelas bersih dari bau-bau korupsi. Kesuksesannya juga tidak dinikmati sendiri. Mereka adalah orang-orang yang selalu membantu orang lain. Bukan hanya dalam urusan sosial, melainkan juga ekonomi. Mereka sosok-sosok yang aktif untuk memberdayakan masyarakat. Urusan hubungan sesama manusia, hablum minannas, mereka relatif sempurna.

Dalam urusan hubungan dengan Tuhan, hablum minallah, mereka juga nyaris sempurna untuk ukuran manusia biasa. Shalat lima waktu akan selalu terjaga tepat waktu. Hampir semuanya dilakukan secara berjamaah di masjid yang dibangunnya sendiri. Ibadah-ibadah sunah juga tak pernah ditinggalkan. Shalat dhuha, shalat tahajud, hingga puasa sunah adalah bagian dari hidup mereka. Wajar bila hidup mereka berkah, ditinggikan maqamnya, serta damai-sejahtera. Mereka umumnya orang-orang terbaik dalam agama maupun dalam penghidupan dibanding masyarakat sekitarnya.

'Orang-orang terbaik' itulah yang lalu bertekad menyempurnakan hidup dengan menunaikan Rukun Islam paripurna: Berhaji. Mereka menyiapkan diri menempuh perjalanan yang, di masa itu, merupakan 'perjalanan hidup-mati'. Tak ada asuransi, dan ada penyelenggara haji, atau jaminan apa pun bahwa akan ada yang kembali ke rumahnya sendiri. Perjalanan yang rumit dan berbahaya selama berbulan-bulan ditempuhnya.

Tak sedikit pun itu menggentarkan mereka. Mereka tahu, perjalanannya bukan apa-apa dibanding perjalanan Nabi Ibrahim-Siti Hajar-Nabi Ismail untuk mengukuhkan esensi kebenaran hidup. Yakni, untuk menjadi manusia yang benar-benar merdeka dengan bergantung hanya pada Allah. Keluarga itu tidak mati di tengah gurun saat meneguhkan ketauhidannya. Mereka sangat siap meneladani keluarga istimewa tersebut.

Dengan kesiapan demikian, proses haji yang dijalaninya pun menjadi sempurna. Mereka bukan saja menunaikan rukun dan wajib haji, namun memahami persis makna setiap langkah ibadah yang dilakukannya. Berhaji membuat mereka benar-benar menjadi manusia Tauhid. Manusia yang benar-benar memiliki jiwa merdeka karena tak mau tergantung pada apa pun dan siapa pun selain Allah. Haji inilah menjadi 'haji mabrur'.

Kemabrurannya ditandai dengan perilaku yang lebih banyak lagi memberdayakan masyarakat; Juga lebih santun dalam kata-kata. Jadilah mereka pribadi-pribadi utama di lingkungannya. Wajar bila orang-orang menghormatinya, dan menyebutnya 'Pak Haji'. Berhaji sekarang jauh lebih mudah dibanding dulu. Semua orang praktis bisa berhaji tanpa perlu kesiapan diri seberat dulu. Siapa pun bisa berhaji sepanjang punya uang. Maka sungguh tak mudah bagi kita yang berhaji sekarang untuk mendapatkan 'kualitas haji' sebanding para haji terdahulu.

Jadi, apakah pantas kita mendapat penghormatan sebutan 'Pak Haji'? Jika tidak, mengapa tidak kita singkirkan atribut haji dari nama kita? Banyak haji luar biasa melakukan itu sebagaimana banyak orang salih yang jelas keturunan Nabi Muhammad yang memilih tak menggunakan sebutan 'Habib' untuk diri sendiri. Bila langkah ini ditempuh, mereka percaya, mereka percaya, agama akan lebih bernilai maknawi dibanding sebagai label dan atribut.


www.republika.co.id

22 October 2007

Budaya Ketupat

Oleh : Zaim Uchrowi

Boleh saja kita menganggap budaya ketupat tak lebih dari sebuah tradisi. Tradisi yang akan selalu hadir di hari-hari sekitar Lebaran seperti sekarang, dan akan selalu menyenangkan untuk dihidangkan. Tapi, lebih dari itu, ia bukanlah apa-apa. Ia hanya sekadar makanan yang dapat kita pesan lengkap dengan opor ayam serta sambal goreng atinya. Nikmati saja, tak usah dicari-cari maknanya.

Mencari makna ketupat barangkali memang mengada-ada. Apalagi bagi orang-orang kota yang hanya tahu ketupat ketika sudah tersaji di atas meja. Namun, ketupat punya arti sendiri di tahun-tahun lampau, khususnya di lingkungan pedesaan. Yakni, bagi kita yang bukan sekadar memakannya di meja, melainkan juga mengikuti seluruh proses dalam budaya ketupat tersebut. Sekadar mengingatkan, proses berarti "rangkaian kegiatan berkesinambungan untuk mencapai tujuan tertentu".

Proses itu mulai terasa sejak beberapa hari sebelum Hari Raya. Para ayah akan ke kebun untuk memanjat pohon kelapa. Dipotongnya janur atau daun kelapa yang masih muda, untuk dibawa pulang. Di dapur, para perempuan dewasa dengan cekatan merajutnya menjadi sebuah bentuk semacam kotak jajaran genjang atau menyerupai layang-layang tiga dimensi yang di dalamnya berongga.

Anak-anak selalu antusias untuk mencoba membuat ketupat, meskipun harus bolak-balik membongkar dan membongkarnya karena anyamannya salah. Juga akan selalu gembira bila diberi kesempatan untuk memasukkan beras ke dalam rongga tersebut sambil terus bertanya-tanya pada diri sendiri apakah jumlah berasnya sudah cukup, kurang atau berlebih, agar dapat menghasilkan ketupat dengan kekenyalan yang tepat. Proses terus berlanjut dengan memasak hingga menghidangkannya. Sungguh merupakan kegembiraan luar biasa saat bisa menikmatinya secara bersama-sama, setelah saling bermaafan satu sama lain.

Ketika kehidupan masyarakat secara umum masih sederhana dulu, ketupat benar-benar menjadi ekspresi kegembiraan. Tuntasnya menunaikan ibadah puasa Ramadhan, juga saat berkumpulnya para manusia terpilih di seluruh dunia di Padang Arafah menjelang Idul Adha, benar-benar dipandang sebagai hari istimewa yang pantas dirayakan. Untuk merayakannya, makanannya pun perlu berbeda dari hari-hari biasa, maka ketupat pun menjadi pilihannya. Entah siapa yang sedemikian kreatif membuat reka bentuk istimewa itu yang kemudian diadopsi seluruh masyarakat nusantara ini.

Ada ungkapan syukur yang sangat kuat yang diekspresikan melalui budaya ketupat itu. Syukur bahwa begitu besar karunia-Nya pada kita, manusia yang dhaif ini, yang tak akan terbalaskan dengan seberapa pun pengabdian kita. Ada keterlibatan kita secara langsung dari setiap iris ketupat sebelum kita dapat meikmatinya. Ada keterpautan langsung dengan alam dalam pembuatan ketupat yang akan mempertebal gelombang hubungan kita dengan semesta ini. Ada pula keberkahan yang harapkan dengan berbagai keriaan sederhana bersama sanak keluarga. Mencari keberkahan dalam makanan, tutur seorang ustadz dalam sebuah ceramah Ramadhan, dalam agama ditempatkan lebih di depan dibanding amal saleh maupun ritual ibadah.

Kini kebun-kebun telah menjadi kampung. Pohon-pohon kelapa semakin sedikit di sekitar kita. Budaya moneter dan materi semakin menguasai kehidupan sehari-hari. Membuat sendiri ketupat? Buat apa, kalau kita bisa membeli. Tinggal orang-orang kecil yang perlu untuk menjualnya demi sedikit uang penambal kebutuhan hariannya yang masih mau membuat ketupat. Pada keadaan seperti ini budaya ketupat tinggal sekadar menjadi tradisi tanpa arti tersendiri. Ketupat menjadi tak lebih dari sekadar makanan pembuat kenyang. Bukan untuk secara khusus dinikmati, apalagi untuk diyukuri.

Idul Fitri sekarang, insya Allah, menjadi titik untuk kembali pada kehidupan yang penuh syukur serta keberkahan setelah bertahun-tahun terakhir kita menjadi sosok yang mekanis dan membanggakan materi. Kita dapat memulai kehidupan penuh syukur dan berkah itu kembali dengan menikmati setiap kunyahan yang Lebaran ini kita santap.

06 September 2007

Mentalitas Jawa dan Sunda

Mentalitas Jawa dan Sunda

Oleh : Zaim Uchrowi

''Indonesia sulit maju,'' kata seorang teman. ''Kenapa?'' tanya saya. ''Sebab, lebih dari 70 persen penduduknya adalah Jawa dan Sunda,'' jawabnya. Saya ternganga, sampai ia menjelaskan lebih lanjut.

Menurutnya, mentalitas orang Jawa dan orang Sunda bukan mentalitas orang yang siap maju. Hal itu terlihat dari ungkapan yang banyak dipakai orang-orang dari kedua suku ini. Orang-orang Jawa disebutnya sering menyebut kata ''nek'' atau ''gek'', yang berarti ''kalau'' sebagai sebuah pengandaian tentang sesuatu yang mungkin terjadi di masa depan. Orang Jawa sering mengucap ''nek ngono mengko piye ...'', ''nek ngene mengko piye ...'' yang berarti ''kalau begitu nanti bagaimana...'', ''kalau begini nanti bagaimana....''

Orang-orang Jawa berpikir begitu panjang. Seluruh kemungkinan di masa depan telah dipikirkan dari sekarang. Pada satu sisi, hal tersebut baik. Banyak persoalan telah diantisipasi jauh hari menyangkut akibat yang mungkin terjadi. Dengan demikian, jika akibat itu benar terjadi, mereka telah siap untuk menghadapinya.

Namun, di sisi lain, banyaknya kemungkinan yang dipikirkan di masa depan sering membuat takut melangkah. Ibarat seorang tak punya rumah yang tak kunjung punya rumah karena takut memikirkan kemungkinannya di masa depan. Bagaimana kalau gentingnya bocor, bagaimana kalau ada pencuri, apalagi kalau rumah itu habis terbakar. Begitu banyak kemungkinan yang dipikirkan hingga orang itu tak berani melangkah untuk punya rumah.

Sikap itu tampak dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar orang Jawa pasrah pada keadaan yang dimilikinya. Mereka tidak akan berusaha keras mengejar sesuatu karena kalau gagal akan terasa sangat menyakitkan. Mereka tidak siap gagal. Akibatnya, pencapaian rata-rata orang Jawa kalah bila dibanding etnis lainnya. Misalnya dengan rata-rata pencapaian orang Batak, apalagi dengan keturunan Tionghoa.

Orang Jawa tak mau berbuat keliru, dan sangat khawatir keliru. Itu membuat komunikasi orang Jawa tidak baik. Orang Jawa tidak pandai mengekspresikan perasaan sendiri, apalagi kalau harus mengatakan tidak. ''Bagaimana nanti kalau orangnya tersinggung.'' Kalimat demikian banyak diucapkan. Orang Jawa menuntut orang lain paham bahasa isyarat. Kalau terpaksa harus mengomentari orang lain, paling dengan cara menyindir. ''Jadi, bagaimana orang Jawa bisa maju?''

Sebaliknya, orang Sunda cenderung malas berpikir panjang. Istilah yang banyak dikatakan adalah, ''kumaha engke ...'' yang berarti ''bagaimana nanti ....'' Jalani dan nikmati hidup seadanya seperti air mengalir yang akan menemukan jalannya sendiri tanpa perlu diatur-atur. Ingin sekolah ya sekolah, ingin main ya main, ingin kerja ya cari kerja kalau dapat. Kalau tidak dapat ya sudah, ''can nasib'' atau ''belum nasibnya''.

Nanti cari lagi. Ada uang, nikmati saja sepuasnya. Uang habis tidak apa-apa. Usaha lagi seperlunya, atau minta bantuan saudara. Tidak berhasil tidak apa-apa. ''Can nasib.'' Ingin kawin, ya kawin saja biar pun pekerjaan belum mapan, penghasilan juga pas-pasan. Ingin kawin lagi, ya kawin lagi saja. Kan boleh dalam agama. Anak banyak, bermunculan saban dua tahun, tidak apa-apa. Tak perlu ada kesiapan buat merencanakan masa depannya. ''Kumaha Gusti wae ....'' Terserah Tuhan sajalah. ''Jadi, bagaimana orang Sunda bisa maju?''

Dengan mentalitas begitu, kemiskinan Jawa yang sangat besar tak kunjung berkurang. Sedangkan kemiskinan Sunda (serta Banten dan Betawi sebagai kerabatnya) terus membesar dengan kecepatan luar biasa. Anehnya, kita menganggap fenomena itu fenomena biasa, dan kadang malah menganggapnya sebagai sikap pasrah pada Allah SWT sesuai tuntunan agama. Padahal, ''pasrah pada nasib'' sangat berbeda dengan ''pasrah pada Allah''.

Pasrah pada Allah SWT adalah membuat perencanaan hidup sebaik-baiknya, bekerja keras untuk mewujudkan perencanaan itu, serta selalu optimistis terhadap hasil yang akan diberikan Tuhan pada kita. Reshuffle kabinet boleh-boleh saja. Tapi, bila sungguh-sungguh ingin membuat bangsa ini dan bangkit sesuai semangat Hari Kebangkitan Nasional, rombak dulu mentalitas bangsa ini secara revolusioner. Untuk itu perlu revolusi mentalitas orang Jawa dan Sunda sebagai mayoritas penduduk bangsa ini. (dari Republika Online)