06 September 2007

Mentalitas Jawa dan Sunda

Mentalitas Jawa dan Sunda

Oleh : Zaim Uchrowi

''Indonesia sulit maju,'' kata seorang teman. ''Kenapa?'' tanya saya. ''Sebab, lebih dari 70 persen penduduknya adalah Jawa dan Sunda,'' jawabnya. Saya ternganga, sampai ia menjelaskan lebih lanjut.

Menurutnya, mentalitas orang Jawa dan orang Sunda bukan mentalitas orang yang siap maju. Hal itu terlihat dari ungkapan yang banyak dipakai orang-orang dari kedua suku ini. Orang-orang Jawa disebutnya sering menyebut kata ''nek'' atau ''gek'', yang berarti ''kalau'' sebagai sebuah pengandaian tentang sesuatu yang mungkin terjadi di masa depan. Orang Jawa sering mengucap ''nek ngono mengko piye ...'', ''nek ngene mengko piye ...'' yang berarti ''kalau begitu nanti bagaimana...'', ''kalau begini nanti bagaimana....''

Orang-orang Jawa berpikir begitu panjang. Seluruh kemungkinan di masa depan telah dipikirkan dari sekarang. Pada satu sisi, hal tersebut baik. Banyak persoalan telah diantisipasi jauh hari menyangkut akibat yang mungkin terjadi. Dengan demikian, jika akibat itu benar terjadi, mereka telah siap untuk menghadapinya.

Namun, di sisi lain, banyaknya kemungkinan yang dipikirkan di masa depan sering membuat takut melangkah. Ibarat seorang tak punya rumah yang tak kunjung punya rumah karena takut memikirkan kemungkinannya di masa depan. Bagaimana kalau gentingnya bocor, bagaimana kalau ada pencuri, apalagi kalau rumah itu habis terbakar. Begitu banyak kemungkinan yang dipikirkan hingga orang itu tak berani melangkah untuk punya rumah.

Sikap itu tampak dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar orang Jawa pasrah pada keadaan yang dimilikinya. Mereka tidak akan berusaha keras mengejar sesuatu karena kalau gagal akan terasa sangat menyakitkan. Mereka tidak siap gagal. Akibatnya, pencapaian rata-rata orang Jawa kalah bila dibanding etnis lainnya. Misalnya dengan rata-rata pencapaian orang Batak, apalagi dengan keturunan Tionghoa.

Orang Jawa tak mau berbuat keliru, dan sangat khawatir keliru. Itu membuat komunikasi orang Jawa tidak baik. Orang Jawa tidak pandai mengekspresikan perasaan sendiri, apalagi kalau harus mengatakan tidak. ''Bagaimana nanti kalau orangnya tersinggung.'' Kalimat demikian banyak diucapkan. Orang Jawa menuntut orang lain paham bahasa isyarat. Kalau terpaksa harus mengomentari orang lain, paling dengan cara menyindir. ''Jadi, bagaimana orang Jawa bisa maju?''

Sebaliknya, orang Sunda cenderung malas berpikir panjang. Istilah yang banyak dikatakan adalah, ''kumaha engke ...'' yang berarti ''bagaimana nanti ....'' Jalani dan nikmati hidup seadanya seperti air mengalir yang akan menemukan jalannya sendiri tanpa perlu diatur-atur. Ingin sekolah ya sekolah, ingin main ya main, ingin kerja ya cari kerja kalau dapat. Kalau tidak dapat ya sudah, ''can nasib'' atau ''belum nasibnya''.

Nanti cari lagi. Ada uang, nikmati saja sepuasnya. Uang habis tidak apa-apa. Usaha lagi seperlunya, atau minta bantuan saudara. Tidak berhasil tidak apa-apa. ''Can nasib.'' Ingin kawin, ya kawin saja biar pun pekerjaan belum mapan, penghasilan juga pas-pasan. Ingin kawin lagi, ya kawin lagi saja. Kan boleh dalam agama. Anak banyak, bermunculan saban dua tahun, tidak apa-apa. Tak perlu ada kesiapan buat merencanakan masa depannya. ''Kumaha Gusti wae ....'' Terserah Tuhan sajalah. ''Jadi, bagaimana orang Sunda bisa maju?''

Dengan mentalitas begitu, kemiskinan Jawa yang sangat besar tak kunjung berkurang. Sedangkan kemiskinan Sunda (serta Banten dan Betawi sebagai kerabatnya) terus membesar dengan kecepatan luar biasa. Anehnya, kita menganggap fenomena itu fenomena biasa, dan kadang malah menganggapnya sebagai sikap pasrah pada Allah SWT sesuai tuntunan agama. Padahal, ''pasrah pada nasib'' sangat berbeda dengan ''pasrah pada Allah''.

Pasrah pada Allah SWT adalah membuat perencanaan hidup sebaik-baiknya, bekerja keras untuk mewujudkan perencanaan itu, serta selalu optimistis terhadap hasil yang akan diberikan Tuhan pada kita. Reshuffle kabinet boleh-boleh saja. Tapi, bila sungguh-sungguh ingin membuat bangsa ini dan bangkit sesuai semangat Hari Kebangkitan Nasional, rombak dulu mentalitas bangsa ini secara revolusioner. Untuk itu perlu revolusi mentalitas orang Jawa dan Sunda sebagai mayoritas penduduk bangsa ini. (dari Republika Online)